Rabu, April 12, 2006

Film Pasir Berbisik “Karakter perempuan yang hidup dalam patriarki”

Film Pasir Berbisik “Karakter perempuan yang hidup dalam patriarki”

Oleh : Singgih Hermawan (mahasiswa ilmu Komunikasi UMY, NIM 20020530234)

e-mail singgih_advert@yahoo.co.id

www.singgihadvert.blogspot.com

Film ini menceritakan hubungan ibu (Christine Hakim) dan anak (Dian Sastrowardoyo) yang sejak kecil ditinggal ayahnya, sebagai tukang obat kaki lima (Slamet Rahardjo), dan pergi entah kemana tanpa kabar berita. Sebagai orang tua tunggal, ibunya cenderung sangat protektif terhadap anaknya yang mulai beranjak masa remaja (15 tahun). Karena merasa terkungkung, sang anak seringkali berkhayal untuk bertemu dengan ayahnya. Lewat imajinasi suara-suara yang ia dengar dari pasir yang bergulir, ia membayangkan betapa senangnya hidup bersama ayah. Lewat pasir yang seolah berbisik itulah, Daya juga berharap suatu saat ayahnya akan datang menemuinya.

Dalam usahanya menemukan dirinya, Daya (Dian Sastrowardoyo) memberontak terhadap kungkungan rapat yang dibangun oleh curahan cinta yang berlebihan dari ibunya, Berlian (Christine Hakim), yang hidup mandiri dari berjualan jamu. Tertuturlah suatu kancah pertarungan sepi, yang diwarnai oleh bahasa kalbu alam gurun yang
mengelilingi mereka. Saat melarikan diri ke lorong-lorong rahasia alam khayalnya, Daya memimpikan ayahnya yang pergi tanpa pesan. Sang ayah akhirnya kembali dalam keadaan nestapa. Namun, Berlian berhati besar menerimanya. Agus (Slamet Rahardjo) berhasil merebut hati Daya, lewat kisah-kisah petualangannya. Tapi kebahagiaan itu ternyata tidak bertahan lama. Bahkan kepulangan Agus justru membawa bencana bagi Daya. Ayah yang tak bertanggung jawab ini ternyata memiliki utang kepada seorang rentenir bernama Suwito (Didi Petet). Dan ia harus membayar utang itu dengan cara yang sangat memalukan: menjual anaknya sendiri!

Berlian yang akhirnya mengetahui ulah bejat sang suami lantas melakukan tindakan balasan dengan caranya sendiri. Dia mengakhiri hidup Agus dengan meracuninya. Demikian pula terhadap Suwito, dia melancarkan balasan yang setimpal.
Film ini, ujar
Nan, tidak hanya berkisah bagaimana cinta ibu dapat mengkungkung sekaligus membebaskan jiwa seseorang. Tetapi juga menggambarkan kekuatan dan keputusan seseorang dalam menempuh hidupnya yang kadangkala tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Film yang disturadarai Nan Achnas dan menghabiskan dana sekitar 3 milyar ini sengaja menekankan wanita sebagai karakter sentral sedangkan laki-laki merupakan karakter marginal. Ia berusaha menggambarkan kekuatan wanita yang selama ini seolah-olah dianggap mahluk lemah. Melalui spiritnya, dua wanita, ibu dan anak, bisa hidup tanpa seorang laki-laki. Pergumulan batin ibu-anak, lingkungan dan realita yang dihadapi serta karakter multi dimensi perempuan yang hidup dalam patriarki merupakan tokoh sentral dalam film ini. Budaya patriarki seperti ini masih sering terjadi dimana saja terutama di daerah yang masih tradisional sehingga masih sangat kental patriarkalnya.

Sebelum menelaah bagaimana patriarki bisa ada di balik Film Pasir Berbisik, saya akan membahas pengertian patriarki itu sendiri. Patriarki kini secara umum, digunakan untuk menyebut “ kekuasaan laki-laki ” khususnya hubungan kekuasaan antara laki-laki terhadap perempuan yang di dalamnya berlangsung dominasi laki-laki atas perempuan yangh direalisasikan melalui bermacam- macam media dan cara (Bhasin,1966).

Sedangkan kaum feminis radikal melihat patriarki sebagai suatu kekuatan politik, sosial, dan sejarah yang otonom dan universal. Menurut De Beauvoir, laki-laki adalah sang absolut dan perempuan adalah yang lain atau the other (1982).

Atau dapat disimpulkan bahwa peranan laki-laki lebih penting dari pada perempuan, padahal peranan perempuan adalah lebih besar apalagi dalam sebuah rumah tangga. Sebagai contoh dalam budaya jawa perempuan sering dianggap sebagai mahluk lemah atau orang belakang dalam bahasa jawa biasa disebut “tiyang wingking”. Padahal sebenarnya peran perempuan jawa dalam rumah tangga sangat penting dia melahirkan anak, membesarkan anak-anaknya, memasak, mencuci, menyapu serta mengurus semua keperluan suami dan kemudian melakukan aktivitas kerjanya berjualan dipasar, membatik atau keladang membantu mendapatkan income untuk keluarga. Berbeda dengan sang suami memang dia bekerja untuk kebutuhan keluarga tapi setelah itu pulang kerumah dia hanya beristirahat dan menyuruh ini itu kepada istrinya. Kemudian keluar rumah untuk nongkrong di warung kopi dan terkadang bermain di meja judi. Laki – laki selalu menjadi yang pertama berbeda dengan perempuan yang selalu menjadi yang kedua.

Kembali ke Film Pasir Berbisik dalam film tersebut sang suami dari Berlian yaitu Agus seolah mau menang sendiri. Setelah sekian lama pergi tanpa pesan meninggalkan anak dan istrinya, tiba-tiba dia kembali ke keluarganya dan Ayah yang tak tahu diri ini ternyata mempunyai setumpuk hutang kepada seorang rentenir. Dan karena keadaan ekonominya dia harus membayar hutang dengan cara menjual anaknya kepada sang rentenir untuk melunasi semua hutangnya. Dalam film ini menampilkan budaya patriarki yang sampai sekarang mungkin masih ada disekitar kita.

Sumber

www.soskomklasb.blogspot.com

www.wikipediaindonesia.com

Film Pasir Berbisik (2001)